Rabu, 07 Juni 2017

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Judul: PENGEMBANGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL SEBAGAI COLLATERAL (AGUNAN) UNTUK MENDAPATKAN KREDIT PERBANKAN DI INDONESIA

Penulis: Sri Mulyani

Institusi: Fakultas Hukum UNTAG Semarang


Abstrak

Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada para kreator, inventor atau pendesain atas hasil kreasi atau temuannya yang mempunyai nilai komersial, baik langsung secara otomatis atau melalui pendaftaran pada instansi terkait sebagai penghargaan, pengakuan hak yang patut diberikan perlindungan hukum. Perkembangan masyarakat global, HKI akan dijadikan collateral (agunan) untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Untuk mewujudkan konsep hukum ini diperlukan peraturan perundang-undangan di masing-masing negara yang bersedia menerapkannya yang mengatur substansi pembebanan, pengikatan, dan pendaftaran HKI sebagai collateral.

Kata kunci: Pengembangan HKI, collateral, kredit perbankan di Indonesia



Pendahuluan

Sejak awal abad 18 bangsa Eropa sudah mulai memikirkan soal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Hal ini tercermin pada pameran in-ternasional atas penemuan-penemuan baru di Vienna pada tahun 1873. Beberapa negara kemudian enggan mengikuti pameran-pameran seperti itu, karena takut ide-ide baru tersebut dicuri dan diekploitasi secara komersial di negara lain. Sejak saat itu mulai timbul kebutuh-an perlindungan secara internasional atas karya intelektual.

Sistem hukum yang berkembang di masing-masing negara, termasuk di Indonesia, dalam bidang hak kekayaan intelektual, sangat dipengaruhi oleh hukum internasional dan juga oleh hukum negara-negara lain. Hal ini tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun juga sistem hukum internasional yang mengatur mengenai hak kekayaan intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara dinamis dan progresif dibandingkan dengan hukum nasional.

Ada dua lembaga multilateral yang ber-hubungan dengan HKI adalah WIPO dan TRIP’s (Trade Related Intellectual Property Rights). WIPO ada di bawah lembaga PBB dan TRIP’s lahir dalam Putaran Uruguay diakomodasi oleh WTO. Pembentukan WTO (World Trade Organization) merupakan salah satu wujud lembaga ekonomi yang dibentuk untuk menangani ekonomi global yang sarat dengan standar-standar regional dan internasional.

TRIP’S (Trade Related Aspecs Intelectual Property Rights), merupakan kesepakaan internasional yang paling komprehensif di bidang HKI. Perjanjian Trip’s adalah suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). TRIP’s bukanlah titik awal tumbuhnya konsep hak kekayaan intelektual.

Indonesia termasuk anggota kedua organisasi tersebut dengan meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization; meratifikasi hasil-hasil keputusan Uruguay Round dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO. Beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia adalah: pertama, TRIP’s (Trade Related Aspects Intelectual Property Rights) (diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994); kedua, Paris Convention for Protection of Industrial Property (Keppres No. 15 Tahun 1997); ketiga, PCT (Patent Cooperation Treaty) and Regulation Under the PCT (Kepres No 16 Tahun 1997); keempat, Trademark Law Treaty (Keppres No.16 Tahun 1997). kelima, Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keppres No.18 Tahun 1997); dan keenam, Organisasi Internasional yang mewadahi HKI yaitu WIPO (World Intelectual Property Organization) (Keppres No.19 Tahun 1997).

Perkembangan masyarakat global, HKI dijadikan akses untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Commission dalam pertemuannya pada sesi ke-39 tahun 2006, mencatat bahwa kekayaan intelektual (seperti copyright, patent, dan trademark) telah menjadi sumber pembiayaan perbankan. Bahkan masuknya HKI sebagai collateral, di samping menjamin keamanan bagi kreditur dengan mengambil alih semua aset perusahaan terkenal, juga menambah garis sumber keuangan untuk pemulihan utang.

Human capital (modal insani) merupakan salah satu modal yang berpengaruh terhadap kesejahteraan suatu bangsa, dalam karakter modal ini hak kekayaan intelektual merupakan intangible asset. Hak kekayaan intelektual dilihat dari perspektif ekonomi mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, sebagaimana dinyatakan oleh Stuart E. Eizenstat bahwa perlindungan atas inovasi sangat penting bagi pertumbuhan negara maju dan negara-negara berkembang di masa depan. Ada korelasi langsung antara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual suatu negara atas hak paten, hak cipta, hak merek dagang dan pertumbuhan serta perkembangan ekonomi negara tersebut. Hak Kekayaan Intelektual sangat lekat dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Penghargaan dan perlindungan terhadap karya-karya intelektual akan menciptakan iklim yang kondusif bagi kreativitas dan daya inovasi masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan perekonomian suatu negara tergantung pada investasi asing.

Praktik perbankan Indonesia belum dapat menerima hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai objek jaminan fidusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, Andy N Sommeng dalam acara pembukaan seminar yang diselenggarakan oleh Indonesian Intellectual Property Alumni Association bekerja sama dengan Japan Paten Office, bahwa sertifikat HaKI di luar negeri, sebagai agunan ke bank sudah berjalan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimana konsep HKI dalam perspektif collateral (agunan)? Kedua, bagaimana konsep HKI sebagai collateral dalam sistem jaminan fidusia di Indonesia?

Pembahasan

Konsep HKI dalam Perspektif Collateral

Secara historis konsep HKI sebagai objek jaminan lahir dan berkembang di negara barat yang sudah berjalan kepastian perlindungan HKInya. Pentingnya hak kekayaan intelektual dapat dijadikan objek jaminan (collateral) mengingat perkembangan dunia usaha di mana pemilik produk sekaligus sebagai pemilik HKI pada produk yang dihasilkannya sangat membutuhkan modal dengan mengadakan perjanjian kredit dengan HKI sebagai objek jaminan.

Menurut Deborah Schavey Ruff, Mayer, Brown & Platt (1999) penggunaan merek dagang sebagai jaminan atas pembiayaan yang aman telah menjadi pilihan yang menarik bagi peminjam. Merek dagang bagian dari HKI yang diakui dengan baik sering lebih menarik daripada jenis lain jaminan, karena biasanya ada risiko kredit yang lebih rendah, yang menghasilkan biaya yang lebih rendah pembiayaan, dan sering kali perjanjian jaminan merek dagang akan memungkinkan peminjam untuk mengamankan pembiayaan tanpa perlu untuk mengubah struktur modalnya. Dalam Institut Hukum Amerika dan Konferensi Nasional Komisaris pada Uniform Negara Hukum yang diadopsi revisi Pasal 9 dari Uniform Comercial Code tahun 1998, Amerika menambahkan jenis baru dari jaminan yang dapat digunakan benda tidak berwujud (inta-ngible) sebagai agunan (collateral).

Sistem hukum jaminan yang objeknya terdiri dari benda adalah sub sistem dari sistem hukum benda yang mengandung sejumlah asas hukum kebendaan. Istilah benda sering diartikan harta kekayaan, dalam praktik bisnis lazim disebut “property”atau komoditi”. Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (Belanda). Beberapa ahli hukum memberikan pengertian benda, bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dengan hak milik atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.

Hak ekonomi (eco-nomic rights) sifatnya bisa dialihkan atau dipindahkan pada orang lain (transferable), sehingga orang lain sebagai penerima peralihan hak juga mendapatkan keuntungan ekonomi. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidstellling atau zekerheidsrechten. Dalam praktik perbankan istilah jaminan dan agunan dibedakan. Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan agunan diartikan sebagai barang atau benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.

Jaminan dalam perspektif Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 diartikan sebagai “kayakinan atas itikad dan kemampuan serta keanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai yang diperjanjikan. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991, yaitu suatu keyakinan kreditur, bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

. Konsep hukum jaminan adalah adanya hubungan hukum antara debitur dan kreditur dalam perjanjian pinjam meminjam seagai perjanjian pokok dan adanya objek jaminan sebagai perjanjian acessoir (perjanjian tambahan). Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Secara teoritis, HKI dapat dijadikan jaminan utang, karena HKI merupakan hak kebendaan yang bernilai ekonomi. Di dalam Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3 (ayat 2) UU Hak cipta, Pasal 66 ayat (1) UU Paten, Pasal 5 ayat (1) UU Rahasia Dagang, Pasal 31 ayat (1) UU Desain Industri, Pasal 23 ayat (1) UU Desain Tata Letak Terpadu, merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengalihan hak yaitu dapat beralih atau dialihkan, karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan peraturan perundang-undangan.

Konsep Penilaian HKI sebagai Collateral

Ada beberapa pendekatan untuk menilai HKI sebagai objek jaminan. Shannon P.Pratt, Alina V. Naculit, memberikan tiga ukuran dalam menilai HKI. Pertama, pendekatan pasar (market approach). Dalam pikiran Shannon P. Pratt, Alina V.Naculit pendekatan pasar menyediakan kerangka kerja sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan analisis penjualan aktual dan/atau transaksi lisensi berwujud yang sebanding dengan objek. Kedua, Pendekatan pendapatan (income approach). Pendekatan pendapatan menyediakan kerangka kerja sistematis untuk memper-kirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan kapitalisasi pendapatan ekonomi atau nilai sekarang dan nilai masa depan. Nilai "pendapatan ekonomi" akan berasal dari penggunaan, lisensi, atau penyewaan atas merk tersebut. Ketiga, pendekatan biaya (cost approach). Pendekatan biaya menyediakan kerangka kerja sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan prinsip ekonomi substitusi yang sepadan dengan biaya yang akan dikeluarkan sebagai pengganti yang sebanding sebagaimana fungsi utilitas.

Mendasarkan konsep penilaian di atas, terkait dengan penilaian HKI sebagai objek jaminan lebih mengarah pada pendekatan pendapatan, karena dengan metode pendapatan memperkirakan nilai asset tidak berwujud (HKI) berdasarkan kapitalisasi pendapatan ekonomi atau nilai sekarang dan nilai masa depan dengan melihat pada laporan keuangan suatu perusahaan di mana HKI masuk dalam aktiva tidak berwujud.

Konsep HKI sebagai Objek Jaminan dalam Sistem Jaminan Fidusia

Memahami makna kemanfaatan hukum dan fungsi hukum pada dasarnya merupakan pengakajian tentang makna signifikan suatu peraturan hukum. Konsep hukum yang modern memiliki fungsi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum akan berlakunya suatu peraturan hukum.

Melihat dari sisi fungsi hukum adalah bahwa perundang-undangan tentang Fidusia di atas memiliki fungsi ganda (dual function). Di satu pihak perundang-undangan tersebut berusaha untuk memerankan diri sebagai sarana “social control”, yakni mengukuhkan perkembangan hukum di dalam masyarakat yang sudah dipraktikkan dalam jurisprudensi, tetapi di lain pihak juga berusaha untuk mendorong masyarakat khususnya pihak-pihak yang berkepentingan (melakukan social engineering) untuk menjunjung tinggi kejujuran melalui kepastian hukum antara lain melalui prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia, tidak hanya mengutamakan transaksi pinjam-meminjam dengan proses yang di anggap sederhana, mudah dan cepat.

Untuk keperluan penjaminan kredit, bentuk pengalihan yang bisa digunakan dengan objek hak kekayaan intelektual adalah melalui perjanjian jaminan. Adapun bentuk penjaminan yang paling tepat digunakan dalam hal ini adalah dengan menggunakan jaminan fidusia. Jaminan fidusia sebagai jaminan diberikan dalam bentuk perjanjian memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan pelunasan hutang piutang. Dengan demikian hubungan hukum antara pemegang dan pemberi jaminan adalah hubungan perikatan, di mana pemegang jaminan (kreditur) berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan dari debitur (pemberi jaminan).

Secara konseptual jaminan fidusia merupakan jaminan yang bersifat kebendaan, setelah benda yang dibebani fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi apabila benda yang dibebani fidusia tidak didaftarkan, maka hak penerima fidusia yang timbul dari adanya perjanjian pembebanan fidusia, bukan merupakan hak kebendaan, tetapi merupakan hak perorangan. Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam tulisan ini adalah perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak ke-pemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Fidusia sebagai salah satu jaminan merupakan unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Konstruksi ini menunjukkan bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter accessoir, yang diatur dalam Undang-undang Jaminan Fidusia ( UU Nomor 42 Tahun 1999).

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa yang dimaksudkan dengan fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bagi benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 tahun 1996 yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberika kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

Jaminan Fidusia dilihat dari aspek hukum memberikan preferensi (hak didahulukan pelunasannya) dari kreditur lain (konkuren) sebagai berikut. Pertama, pemegang fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya; kedua, pemegang fidusia mempunyai hak didahulukan dalam hal untuk mengambil pelunasan piutangya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan ketiga, pemegang fidusia mempunyai hak yang didahulukan dengan tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi.

Berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 membawa perubahan bagi pengikatan jaminan fidusia yang telah ada sebelumnya yaitu diperolehnya kepastian hukum, baik bagi pihak kreditur maupun debitur, yang ditanggapi oleh Bank dengan menerbitkan Surat Edaran No.00/HK/003 tanggal 23 Pebruari 2000 perihal Pembuatan Akta Jaminan Fidusia dibuat terpisah oleh Notaris, yang sebelumnya pem-bebanan jaminan fidusia dilakukan secara dibawah tangan dan menjadi satu dalam Formulir Aplikasi Kredit atau dalam Perjanjian Kredit pada bagian agunan.

Kemajuan teknologi telah mendorong lahirnya hak-hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai agunan, yaitu hak-hak atas kekayaan intelektual yang timbul dan lahir karena kemampuan sumber daya manusia. Hak Kekayaan Intelektual dapat berupa karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra dan teknologi yang dilahirkan dengan adanya daya kreativitas seseorang menjadikan karya itu bernilai. Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat digolongkan ke dalam: pertama, hak cipta dan hak yang berkaitan dengan hak cipta; kedua: Paten dan paten sederhana; ketiga: merek dagang, merek jasa, nama dagang, indikasi asal dan indikasi geografis; keempat: rahasia dagang; kelima: desain industri; dan keenam: (desain atas) tata letak sirkuit terpadu.

Fungsi pendaftaran HKI menjadi penting dan disyaratkan oleh undang-undang HKI, selain berguna sebagai alat bukti yang sah atas HKI yang terdaftar, pendaftaran HKI juga berguna sebagai dasar penolakan terhadap HKI yang sama keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk barang atau jasa sejenis. Perlindungan hukum terhadap HKI diberikan melalui proses pendaftaran HKI.

Sistem hukum jaminan fidusia dalam tulisan ini terkait dengan substansi hukum jaminan fidusia dan struktur hukumnya memungkinkan pemanfaatan HKI untuk mengakses kredit perbankan. Pertama, konsep jaminan fidusia. Pasal 1 angka 1 UUJF: fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda; Pasal 1 angka 2 UUJF: jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud yang tetap dal penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya; Pasal 1 angka 4 UU JF: benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.

Kedua, pengikatan pembebanan. Pasal 4 UUJF: jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menim-bulkan kewajiban bagi para pihak untuk meme-nuhi suatu prestasi; Pasal 5 (1) UUJF: pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia; Pasal 6 UUJF: akta jaminan fidusia memuat identitas pemberi dan penerima fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; Pasal 8 UUJF; Pasal 9 dan Pasal 10 UUJF.

Ketiga, pendaftaran jaminan fidusia. Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.” Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, di Kanwil Propinsi; Pasal 13 - Pasal 18 UUJF. Keempat, Pengalihan Jaminan Fidusia: Pasal 19, 20, 21 UUJF. Kelima, Eksekusi Jaminan Fidusia: Pasal 29 s/d 34 UUJF.

Dengan demikian, jika hak kekayaan intelektual akan dijadikan collateral dalam sistem hukum jaminan fidusia telah tersirat substansi pembebanan, pengikatan dan pendaftaran HKI sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana yang diharapkan dalam Sidang ke-13 United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) Working Group VI on Security Interest, secured transactions law New York, 19-23 Mei 2008, bahwa masing-masing negara di harapkan memiliki aturan HKI sebagai collateral dengan tidak melanggar ketentuan HKI yang telah dimiliki masing-masing negara dan juga tidak boleh melanggar perjanjian internasional di bidang kekayaan intelektual yang telah di buat antar negara.

Simpulan

Konsep HKI sebagai collateral bahwa hak kekayaan inteletual dapat dikatagorikan sebagai benda bergerak yang tidak berwujud, yang mempunyai nilai ekonomi. Sertifikat hak keka-yaan intelektual sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang tidak mewakili objek hanya subyek dari hak kekayaan intelektual tersebut, dan juga dilengkapi adanya perbuatan hukum tambahan yang terwujud dalam laporan keuangan perusahaan yang mempunyai hak kekayaan intelektual tersebut.

Pengembangan hukum hak kekayaan inte-lektual sebagai collateral dimungkinkan dengan pengikatan secara fidusia yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan yang teraplikasi dalam akta jaminan fidusia yang dibuat Notaris dan dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Melalui lembaga jaminan fidusia tersirat konsep HKI sebagai collateral terkait dengan substansi pembebanan, pengikatan dan pendaftaran HKI sebagai objek jaminan fidusia mengantisipasi berlakunya HKI sebagai collateral secara internasional untuk mendapatkan kredit perbankan di Indonesia.

Saran

Diharapkan kebijakan Bank Indonesia segera membuat peraturan yang memberlakukan HKI sebagai collateral, agar masyarakat pelaku bisnis yang mempunyai produk dengan HKInya dapat mengakes kredit perbankan dalam rangka mengembangkan usahanya yang membutuhkan modal. Perlunya sosialisasi pada komunitas perbankan, bahwa HKI dapat dijadikan collateral, melalui sistem hukum jaminan fidusia, dengan memanfaatkan jasa penilai (affraisal), sehingga penilaian HKI sebagai collateral lebih terbuka, pangsa pasar juga turut menentukan penilaian HKI, sehingga akan berguna pada waktu eksekusi, apabila debitur wanprestasi

Daftar Pustaka

Bachtiar, Maryati. “Pelaksanaan Hukum Terhadap Merek Terkenal (Well Known Merk) Dalam WTOTRIPS Dikaitkan dengan Pengaturan dan Praktiknya di Indonesia”. Jurnal Hukum Respublica. Vol. 6 No. 2 Tahun 2007. Pekanbaru: FH Universitas Lancang Kuning;

Faradz, Haedah. “Perlindungan Hak Atas Merek”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 8 No.1
Januari 2008. Purwokerto: FH Universitas. Jenderal Soedirman;

Hadiarianti, Venantia. “Konsep Dasar Pemberian Hak dan Perlindungan Hukum HKI”. Jurnal Gloria Juris. Vol. 8 No. 2 Mei-Juni 2008. Jakarta: FH UNIKA Atma Jaya;

Hudaya,  Heru,  “Penafasiran  dalam  Hukum”. Duta Kampus Borobudur. Jakarta: Universitas
Borobudur;



Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Fungsi Sertifikasi HaKI Sebagai Agunan Belum Berjalan;

Kotler dkk. 1997. The Marketing of Nations, A Strategic Approach to Building National Wealth, New York: The Free Press;

Lambok, Betty Dina. “Akibat Hukum Persetuju-an Tertulis dari Penerima Fidusia kepada Pemberi Fidusia untuk Menyewakan Obyek Jaminan Fidusia Kepada Pihak Ketiga”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol.26 No.3 Juli 2008. Bandung: FH UNPAR;

Lebson, Scott J. “Trade secrets as collateral: a US perspective”, Journal of Intellectual Property Law & Practice, Vol. 2 No. 11 2007. United Kindom: Oxford University Press;

M, Edward Iacobucci dan RalphA.Winter. “Asset Securitization and Asymmetric Inform-ation”. Journal of Legal Studies. Vol.34 No.1 Januari 2005. Chicago: University of Chicago Press;

Muladi. 2009. Pentingnya Lembaga Jaminan Fidusia dalam meningkatkan Pembangunan Ekonomi Nasional, Seminar Nasional “Pro-blematika dalam Pelaksanaan Jaminan Fidusia di Indonesia: Upaya Menuju Kepastian Hukum, Fakultas Hukum USM, 16 Desember;

Mulyani, Sri. “Rekonstruksi Pemikiran Yuridis Integral dalam Pembaharuan Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar Pancasila”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol. 7 No. 2 April 2010. Semarang: Fakultas Hukum UNTAG;

P. Pratt Shannon, Alina V.Naculita. 2008. Valuing a Business The Analysis and Appraisal of Closely Held Companies, Third Edition. New York: Shannon Pratt Valuation. Inc;

Ruff Schavey, Deborah, Mayer, Brown, Platt. 1999. Navigating Uncharted waters taking
security interest in United State Trademarks

Smith, Lars S. “General Intangible or Comercial Tort: Moral Rights and StateBased Intellectual Property as Collateral Under U.C.C. Revised Article 9”. Emory Bankruptcy Developments Journal. Vol. 22 2005. Atlanta: Emory Law;

Soepraptomo, Heru. “Masalah Eksekusi Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia Dalam Praktik Perbankan”. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 26 No.1. 2007. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis;

Sujatmiko, Agung. “Perjanjian Lisensi Merek Terkenal”. Jurnal Mimbar Hukum Vo.22 No. 2 Tahun 2010.Yoygakarta: Fakultas Hukum UGM;

Suryoutomo, Markus. Efektivitas Pelaksanaan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Sebagai Agunan Kredit Bank”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol.6.No.1 Oktober 2008. Semarang: Fakultas Hukum
UNTAG;

Syafrinaldi. “Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual”. Jurnal Hukum Respublika. Vol. 4
No.1 Tahun 2004. Pekanbaru: FH Universitas Lancang Kuning;

Tosato, Andrea. “Security Interest over Intellectual Property”. Journal of Intellectual Property Law & Practice. Vol.6 No.2 Tahun 2011

Zaini, Ahmad. “Dinamika Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia di Indonesia”. Jurnal Al Qalam, Vol.24 No.3 September-Desember 2007. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah;


Zuliyati, Ngurah Arya. “Intellectual Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan”. Jurnal Dinamika Keuangan dan Perbankan. Vol.3 No.1 Nopember 2011. Semarang: Universitas Stikubank.