Judul: PENGEMBANGAN HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL SEBAGAI COLLATERAL (AGUNAN)
UNTUK MENDAPATKAN KREDIT PERBANKAN DI INDONESIA
Penulis: Sri
Mulyani
Institusi: Fakultas Hukum UNTAG Semarang
E-mail: mulyaniargo@yahoo.com
Abstrak
Hak
Kekayaan Intelektual merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada para
kreator, inventor atau pendesain atas hasil kreasi atau temuannya yang
mempunyai nilai komersial, baik langsung secara otomatis atau melalui
pendaftaran pada instansi terkait sebagai penghargaan, pengakuan hak yang patut
diberikan perlindungan hukum. Perkembangan masyarakat global, HKI akan
dijadikan collateral (agunan) untuk
mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Untuk mewujudkan konsep
hukum ini diperlukan peraturan perundang-undangan di masing-masing negara yang
bersedia menerapkannya yang mengatur substansi pembebanan, pengikatan, dan
pendaftaran HKI sebagai collateral.
Kata
kunci: Pengembangan HKI, collateral, kredit perbankan di Indonesia
Pendahuluan
Sejak awal abad 18 bangsa Eropa sudah mulai memikirkan soal Hak
Kekayaan Intelektual (HKI). Hal ini tercermin pada pameran in-ternasional atas
penemuan-penemuan baru di Vienna pada tahun 1873. Beberapa negara kemudian
enggan mengikuti pameran-pameran seperti itu, karena takut ide-ide baru
tersebut dicuri dan diekploitasi secara komersial di negara lain. Sejak saat
itu mulai timbul kebutuh-an perlindungan secara internasional atas karya
intelektual.
Sistem hukum yang berkembang di masing-masing negara, termasuk
di Indonesia, dalam bidang hak kekayaan intelektual, sangat dipengaruhi oleh
hukum internasional dan juga oleh hukum negara-negara lain. Hal ini
tidak bisa dinafikan, karena bagaimanapun juga sistem hukum internasional yang
mengatur mengenai hak kekayaan intelektual lebih duluan lahir dan berkembang secara
dinamis dan progresif dibandingkan dengan hukum nasional.
Ada dua lembaga multilateral yang ber-hubungan dengan HKI
adalah WIPO dan TRIP’s (Trade Related
Intellectual Property Rights). WIPO ada di bawah lembaga PBB dan TRIP’s
lahir dalam Putaran Uruguay diakomodasi oleh WTO. Pembentukan WTO (World Trade Organization) merupakan
salah satu wujud lembaga ekonomi yang
dibentuk untuk menangani ekonomi global yang sarat dengan standar-standar
regional dan internasional.
TRIP’S (Trade Related
Aspecs Intelectual Property Rights),
merupakan kesepakaan internasional yang paling komprehensif di bidang HKI.
Perjanjian Trip’s adalah suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
TRIP’s bukanlah titik awal tumbuhnya
konsep hak kekayaan intelektual.
Indonesia termasuk anggota kedua organisasi tersebut dengan
meratifikasi Paris Convention for the
Protection of Industrial Property and
Convention Establishing the World Intellectual Property Organization;
meratifikasi hasil-hasil keputusan Uruguay Round dengan Undang-undang No. 7
Tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO. Beberapa konvensi internasional yang telah
diratifikasi Indonesia adalah: pertama,
TRIP’s (Trade Related Aspects Intelectual
Property Rights) (diratifikasi dengan UU
No. 7 Tahun 1994); kedua, Paris Convention for Protection of Industrial Property (Keppres No. 15 Tahun 1997); ketiga,
PCT (Patent Cooperation Treaty) and
Regulation Under the PCT (Kepres No 16 Tahun 1997); keempat, Trademark Law Treaty (Keppres No.16 Tahun 1997). kelima, Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keppres
No.18 Tahun 1997); dan keenam, Organisasi Internasional yang
mewadahi HKI yaitu WIPO (World
Intelectual Property Organization) (Keppres No.19 Tahun 1997).
Perkembangan masyarakat global, HKI dijadikan
akses untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. Commission dalam pertemuannya pada sesi
ke-39 tahun 2006, mencatat bahwa kekayaan intelektual (seperti copyright, patent, dan trademark) telah
menjadi sumber pembiayaan perbankan. Bahkan masuknya HKI sebagai collateral, di samping menjamin keamanan
bagi kreditur dengan mengambil alih semua aset perusahaan terkenal, juga
menambah garis sumber keuangan untuk pemulihan utang.
Human capital
(modal insani) merupakan salah satu modal yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan suatu bangsa, dalam karakter modal ini hak kekayaan
intelektual merupakan intangible asset. Hak
kekayaan intelektual dilihat dari perspektif ekonomi mampu memberikan
kontribusi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, sebagaimana dinyatakan oleh Stuart
E. Eizenstat bahwa perlindungan atas inovasi sangat penting bagi pertumbuhan
negara maju dan negara-negara berkembang di masa depan. Ada korelasi langsung
antara perlindungan Hak Kekayaan Intelektual suatu negara atas hak paten, hak
cipta, hak merek dagang dan pertumbuhan serta perkembangan ekonomi negara
tersebut. Hak Kekayaan Intelektual sangat lekat dengan pertumbuhan perekonomian
suatu negara. Penghargaan dan perlindungan terhadap karya-karya intelektual
akan menciptakan iklim yang kondusif bagi kreativitas dan daya inovasi masyarakat.
Sementara itu, pertumbuhan perekonomian suatu negara tergantung pada investasi
asing.
Praktik perbankan Indonesia belum dapat
menerima hak kekayaan intelektual (HKI) sebagai objek jaminan fidusia.
Sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum
dan HAM, Andy N Sommeng dalam acara pembukaan seminar yang diselenggarakan oleh
Indonesian Intellectual Property Alumni Association bekerja sama dengan
Japan Paten Office, bahwa sertifikat
HaKI di luar negeri, sebagai agunan ke bank sudah berjalan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam artikel ini adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimana konsep HKI dalam perspektif collateral (agunan)? Kedua,
bagaimana konsep HKI sebagai collateral dalam
sistem jaminan fidusia di Indonesia?
Pembahasan
Konsep HKI dalam Perspektif Collateral
Secara historis konsep HKI sebagai objek jaminan lahir dan
berkembang di negara barat yang sudah berjalan kepastian perlindungan HKInya. Pentingnya hak kekayaan intelektual
dapat dijadikan objek jaminan (collateral)
mengingat perkembangan dunia usaha di mana pemilik produk sekaligus sebagai
pemilik HKI pada produk yang dihasilkannya sangat membutuhkan modal dengan
mengadakan perjanjian kredit dengan HKI sebagai objek jaminan.
Menurut Deborah Schavey Ruff, Mayer, Brown & Platt (1999)
penggunaan merek dagang sebagai jaminan atas pembiayaan yang aman telah menjadi
pilihan yang menarik bagi peminjam. Merek dagang bagian dari HKI yang diakui
dengan baik sering lebih menarik daripada jenis lain jaminan, karena biasanya
ada risiko kredit yang lebih rendah, yang menghasilkan biaya yang lebih rendah
pembiayaan, dan sering kali perjanjian jaminan merek dagang akan memungkinkan
peminjam untuk mengamankan pembiayaan tanpa perlu untuk mengubah struktur
modalnya. Dalam Institut Hukum Amerika dan Konferensi Nasional Komisaris pada
Uniform Negara Hukum yang diadopsi revisi Pasal 9 dari Uniform Comercial Code
tahun 1998, Amerika menambahkan jenis baru dari jaminan yang dapat digunakan
benda tidak berwujud (inta-ngible)
sebagai agunan (collateral).
Sistem hukum jaminan yang objeknya terdiri dari benda adalah
sub sistem dari sistem hukum benda yang mengandung sejumlah asas hukum kebendaan.
Istilah benda sering diartikan harta kekayaan, dalam praktik bisnis lazim
disebut “property”atau komoditi”.
Istilah benda merupakan terjemahan dari kata zaak (Belanda). Beberapa ahli hukum memberikan pengertian benda,
bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dengan hak milik atau
segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.
Hak ekonomi (eco-nomic
rights) sifatnya bisa dialihkan atau dipindahkan pada orang lain (transferable), sehingga orang lain
sebagai penerima peralihan hak juga mendapatkan keuntungan ekonomi. Istilah
hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law, zekerheidstellling
atau zekerheidsrechten. Dalam praktik
perbankan istilah jaminan dan agunan dibedakan. Istilah jaminan mengandung
arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan
debitur untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan agunan diartikan sebagai
barang atau benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.
Jaminan dalam perspektif Undang-undang No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 diartikan
sebagai “kayakinan atas itikad dan kemampuan serta keanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai yang
diperjanjikan. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia
Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991, yaitu suatu keyakinan kreditur,
bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah
debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.
. Konsep hukum jaminan adalah adanya hubungan hukum antara
debitur dan kreditur dalam perjanjian pinjam meminjam seagai perjanjian pokok
dan adanya objek jaminan sebagai perjanjian acessoir
(perjanjian tambahan). Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan
terdapat dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam
penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998.
Secara teoritis, HKI dapat dijadikan jaminan utang, karena HKI
merupakan hak kebendaan yang bernilai ekonomi. Di dalam Pasal 40 ayat (1) UU
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 3 (ayat 2) UU Hak cipta, Pasal 66 ayat
(1) UU Paten, Pasal 5 ayat (1) UU Rahasia Dagang, Pasal 31 ayat (1) UU Desain
Industri, Pasal 23 ayat (1) UU Desain Tata Letak Terpadu, merupakan ketentuan
yang mengatur mengenai pengalihan hak yaitu dapat beralih atau dialihkan,
karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab lain yang dibenarkan
peraturan perundang-undangan.
Konsep Penilaian HKI sebagai Collateral
Ada beberapa pendekatan untuk menilai HKI sebagai objek
jaminan. Shannon P.Pratt, Alina V. Naculit, memberikan tiga ukuran dalam
menilai HKI. Pertama, pendekatan
pasar (market approach). Dalam
pikiran Shannon P. Pratt, Alina V.Naculit pendekatan pasar menyediakan kerangka
kerja sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan
analisis penjualan aktual dan/atau transaksi lisensi berwujud yang sebanding
dengan objek. Kedua, Pendekatan
pendapatan (income approach). Pendekatan pendapatan menyediakan kerangka kerja sistematis
untuk memper-kirakan nilai aset tidak berwujud berdasarkan kapitalisasi pendapatan
ekonomi atau nilai sekarang dan nilai masa depan. Nilai "pendapatan
ekonomi" akan berasal dari penggunaan, lisensi, atau penyewaan atas merk
tersebut. Ketiga, pendekatan biaya (cost approach). Pendekatan biaya
menyediakan kerangka kerja sistematis untuk memperkirakan nilai aset tidak
berwujud berdasarkan prinsip ekonomi substitusi yang sepadan dengan biaya yang
akan dikeluarkan sebagai pengganti yang sebanding sebagaimana fungsi utilitas.
Mendasarkan konsep penilaian di atas, terkait dengan penilaian
HKI sebagai objek jaminan lebih mengarah pada pendekatan pendapatan, karena
dengan metode pendapatan memperkirakan nilai asset tidak berwujud (HKI) berdasarkan
kapitalisasi pendapatan ekonomi atau nilai sekarang dan nilai masa depan dengan
melihat pada laporan keuangan suatu perusahaan di mana HKI masuk dalam aktiva
tidak berwujud.
Konsep HKI sebagai
Objek Jaminan dalam Sistem Jaminan Fidusia
Memahami makna kemanfaatan hukum dan
fungsi hukum pada dasarnya merupakan pengakajian tentang makna signifikan suatu
peraturan hukum. Konsep hukum yang modern memiliki fungsi untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum akan berlakunya suatu peraturan hukum.
Melihat dari sisi fungsi hukum adalah bahwa perundang-undangan
tentang Fidusia di atas memiliki fungsi ganda (dual function). Di satu pihak perundang-undangan tersebut berusaha
untuk memerankan diri sebagai sarana “social
control”, yakni mengukuhkan
perkembangan hukum di dalam
masyarakat yang sudah dipraktikkan dalam jurisprudensi, tetapi di lain pihak
juga berusaha untuk mendorong masyarakat khususnya pihak-pihak yang
berkepentingan (melakukan social
engineering) untuk menjunjung tinggi kejujuran melalui kepastian hukum
antara lain melalui prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia, tidak hanya
mengutamakan transaksi pinjam-meminjam dengan proses yang di anggap sederhana,
mudah dan cepat.
Untuk keperluan penjaminan kredit, bentuk pengalihan yang bisa
digunakan dengan objek hak kekayaan intelektual adalah melalui perjanjian
jaminan. Adapun bentuk penjaminan yang paling tepat digunakan dalam hal ini adalah
dengan menggunakan jaminan fidusia. Jaminan fidusia sebagai jaminan diberikan
dalam bentuk perjanjian memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam
perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai
jaminan pelunasan hutang piutang. Dengan demikian hubungan hukum antara
pemegang dan pemberi jaminan adalah hubungan perikatan, di mana pemegang
jaminan (kreditur) berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan dari debitur
(pemberi jaminan).
Secara konseptual jaminan fidusia merupakan jaminan yang
bersifat kebendaan, setelah benda yang dibebani fidusia didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia. Jadi apabila benda yang dibebani fidusia tidak
didaftarkan, maka hak penerima fidusia yang timbul dari adanya perjanjian
pembebanan fidusia, bukan merupakan hak kebendaan, tetapi merupakan hak
perorangan. Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam tulisan ini adalah
perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan hak ke-pemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam
penguasaan si pemilik benda. Fidusia sebagai salah satu jaminan merupakan unsur
pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit
bank. Konstruksi ini menunjukkan bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki
karakter accessoir, yang diatur dalam
Undang-undang Jaminan Fidusia ( UU Nomor 42 Tahun 1999).
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia, menentukan
bahwa yang dimaksudkan dengan fidusia ialah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bagi benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan
Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani dengan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 tahun
1996 yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu yang memberika kedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia).
Jaminan Fidusia dilihat dari aspek hukum memberikan preferensi
(hak didahulukan pelunasannya) dari kreditur lain (konkuren) sebagai berikut. Pertama, pemegang fidusia memiliki hak
yang didahulukan terhadap kreditor lainnya; kedua,
pemegang fidusia mempunyai hak didahulukan dalam hal untuk mengambil pelunasan
piutangya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan ketiga, pemegang fidusia mempunyai hak
yang didahulukan dengan tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau
likuidasi.
Berlakunya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 membawa perubahan
bagi pengikatan jaminan fidusia yang telah ada sebelumnya yaitu diperolehnya
kepastian hukum, baik bagi pihak kreditur maupun debitur, yang ditanggapi oleh
Bank dengan menerbitkan Surat Edaran No.00/HK/003 tanggal 23 Pebruari 2000
perihal Pembuatan Akta Jaminan Fidusia dibuat terpisah oleh Notaris, yang
sebelumnya pem-bebanan jaminan fidusia dilakukan secara dibawah tangan dan
menjadi satu dalam Formulir Aplikasi Kredit atau dalam Perjanjian Kredit pada
bagian agunan.
Kemajuan teknologi telah mendorong lahirnya hak-hak kekayaan
intelektual (HKI) sebagai agunan, yaitu hak-hak atas kekayaan intelektual yang
timbul dan lahir karena kemampuan sumber daya manusia. Hak Kekayaan Intelektual
dapat berupa karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, seni sastra dan teknologi
yang dilahirkan dengan adanya daya kreativitas seseorang menjadikan karya itu
bernilai. Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat digolongkan ke dalam: pertama, hak cipta dan hak yang
berkaitan dengan hak cipta; kedua:
Paten dan paten sederhana; ketiga:
merek dagang, merek jasa, nama dagang, indikasi asal dan indikasi geografis; keempat: rahasia dagang; kelima: desain industri; dan keenam: (desain atas) tata letak sirkuit terpadu.
Fungsi pendaftaran HKI menjadi penting dan disyaratkan oleh undang-undang
HKI, selain berguna sebagai alat bukti yang sah atas HKI yang terdaftar,
pendaftaran HKI juga berguna sebagai dasar penolakan terhadap HKI yang sama
keseluruhannya atau sama pada pokoknya yang dimohonkan oleh orang lain untuk
barang atau jasa sejenis. Perlindungan hukum terhadap HKI diberikan melalui
proses pendaftaran HKI.
Sistem hukum jaminan fidusia dalam tulisan ini terkait dengan
substansi hukum jaminan fidusia dan struktur hukumnya memungkinkan pemanfaatan
HKI untuk mengakses kredit perbankan. Pertama, konsep jaminan fidusia. Pasal 1 angka
1 UUJF: fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan
pemilik benda; Pasal 1 angka 2 UUJF: jaminan fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud yang tetap dal penguasaan
pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya;
Pasal 1 angka 4 UU JF: benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang
tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
atau hipotik.
Kedua, pengikatan pembebanan. Pasal 4 UUJF: jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu
perjanjian pokok yang menim-bulkan kewajiban bagi para pihak untuk meme-nuhi
suatu prestasi; Pasal 5 (1) UUJF: pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan
Fidusia; Pasal 6 UUJF: akta jaminan fidusia memuat identitas pemberi dan
penerima fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai
benda yang menjadi objek jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang
menjadi objek jaminan fidusia; Pasal 8 UUJF; Pasal 9 dan Pasal 10 UUJF.
Ketiga, pendaftaran jaminan fidusia. Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12
ayat (1) UU Jaminan Fidusia. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Benda yang
dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.” Pasal 12 ayat (1) menyatakan
bahwa, “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, di Kanwil Propinsi; Pasal 13 -
Pasal 18 UUJF. Keempat, Pengalihan Jaminan Fidusia: Pasal 19,
20, 21 UUJF. Kelima, Eksekusi Jaminan
Fidusia: Pasal 29 s/d 34 UUJF.
Dengan demikian, jika hak kekayaan intelektual akan dijadikan collateral dalam sistem hukum jaminan
fidusia telah tersirat substansi pembebanan, pengikatan dan pendaftaran HKI
sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana yang diharapkan dalam Sidang ke-13 United Nations Commision on International Trade Law (UNCITRAL) Working Group VI on Security Interest, secured transactions law New
York, 19-23 Mei 2008, bahwa
masing-masing negara di harapkan memiliki aturan HKI sebagai collateral dengan tidak melanggar
ketentuan HKI yang telah dimiliki
masing-masing negara dan juga tidak boleh melanggar perjanjian internasional di
bidang kekayaan intelektual yang telah di buat antar negara.
Simpulan
Konsep HKI sebagai collateral
bahwa hak kekayaan inteletual dapat dikatagorikan sebagai benda bergerak yang
tidak berwujud, yang mempunyai nilai ekonomi. Sertifikat hak keka-yaan
intelektual sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis yang tidak mewakili objek hanya subyek dari hak kekayaan intelektual
tersebut, dan juga dilengkapi adanya perbuatan hukum tambahan yang terwujud
dalam laporan keuangan perusahaan yang mempunyai hak kekayaan intelektual tersebut.
Pengembangan
hukum hak kekayaan inte-lektual sebagai collateral
dimungkinkan dengan pengikatan secara fidusia yang memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan yang teraplikasi
dalam akta jaminan fidusia yang dibuat Notaris dan dilakukan pendaftaran di
Kantor Pendaftaran Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Melalui
lembaga jaminan fidusia tersirat konsep HKI sebagai collateral terkait dengan substansi pembebanan, pengikatan dan
pendaftaran HKI sebagai objek jaminan fidusia mengantisipasi berlakunya HKI
sebagai collateral secara
internasional untuk mendapatkan kredit
perbankan di Indonesia.
Saran
Diharapkan kebijakan Bank Indonesia segera membuat peraturan
yang memberlakukan HKI sebagai collateral,
agar masyarakat pelaku bisnis yang mempunyai produk dengan HKInya dapat
mengakes kredit perbankan dalam rangka mengembangkan usahanya yang membutuhkan
modal. Perlunya sosialisasi pada komunitas perbankan, bahwa HKI dapat dijadikan
collateral, melalui sistem hukum
jaminan fidusia, dengan memanfaatkan jasa penilai (affraisal), sehingga penilaian HKI sebagai collateral lebih
terbuka, pangsa pasar juga turut menentukan penilaian HKI, sehingga akan
berguna pada waktu eksekusi, apabila debitur wanprestasi
Daftar Pustaka
Bachtiar, Maryati. “Pelaksanaan Hukum
Terhadap Merek Terkenal (Well Known Merk) Dalam WTOTRIPS Dikaitkan dengan Pengaturan
dan Praktiknya di Indonesia”. Jurnal
Hukum Respublica. Vol. 6 No. 2 Tahun 2007.
Pekanbaru: FH Universitas Lancang Kuning;
Faradz,
Haedah. “Perlindungan Hak Atas Merek”.
Jurnal Dinamika Hukum, Vol 8 No.1
Januari 2008. Purwokerto: FH Universitas. Jenderal
Soedirman;
Hadiarianti, Venantia. “Konsep Dasar
Pemberian Hak dan Perlindungan Hukum HKI”.
Jurnal Gloria Juris. Vol. 8 No. 2
Mei-Juni 2008. Jakarta: FH UNIKA Atma
Jaya;
Hudaya, Heru,
“Penafasiran dalam Hukum”. Duta Kampus Borobudur. Jakarta:
Universitas
Borobudur;
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah, Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, Fungsi Sertifikasi HaKI Sebagai Agunan Belum
Berjalan;
Kotler dkk. 1997. The
Marketing of Nations, A Strategic Approach to Building National
Wealth, New York: The Free Press;
Lambok, Betty Dina. “Akibat Hukum
Persetuju-an Tertulis dari Penerima Fidusia kepada Pemberi Fidusia untuk
Menyewakan Obyek Jaminan Fidusia Kepada Pihak Ketiga”. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol.26 No.3 Juli 2008. Bandung: FH
UNPAR;
Lebson, Scott J. “Trade
secrets as collateral: a US perspective”,
Journal of Intellectual Property Law
& Practice, Vol. 2 No. 11 2007.
United Kindom: Oxford University Press;
M, Edward Iacobucci dan RalphA.Winter.
“Asset Securitization and Asymmetric Inform-ation”. Journal of Legal Studies. Vol.34 No.1 Januari 2005. Chicago:
University of Chicago Press;
Muladi. 2009. Pentingnya Lembaga Jaminan Fidusia dalam meningkatkan Pembangunan
Ekonomi Nasional, Seminar Nasional “Pro-blematika dalam
Pelaksanaan Jaminan Fidusia di Indonesia: Upaya Menuju Kepastian Hukum,
Fakultas Hukum USM, 16 Desember;
Mulyani, Sri. “Rekonstruksi Pemikiran
Yuridis Integral dalam Pembaharuan Sistem Hukum Jaminan Fidusia Berpilar
Pancasila”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol. 7 No. 2 April
2010. Semarang: Fakultas Hukum UNTAG;
P. Pratt Shannon, Alina V.Naculita.
2008. Valuing a Business The Analysis and
Appraisal of Closely Held Companies, Third Edition. New York: Shannon Pratt Valuation. Inc;
Ruff
Schavey, Deborah, Mayer, Brown, Platt. 1999. Navigating Uncharted waters taking
security
interest in United State Trademarks
Smith, Lars S. “General Intangible or
Comercial Tort: Moral Rights and StateBased Intellectual Property as Collateral
Under U.C.C. Revised Article 9”. Emory Bankruptcy
Developments Journal. Vol. 22 2005.
Atlanta: Emory Law;
Soepraptomo, Heru. “Masalah Eksekusi
Jaminan Fidusia dan Implikasi Lembaga Fidusia Dalam Praktik Perbankan”. Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 26 No.1. 2007. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis;
Sujatmiko, Agung. “Perjanjian Lisensi
Merek Terkenal”. Jurnal Mimbar Hukum
Vo.22 No. 2 Tahun 2010.Yoygakarta: Fakultas Hukum UGM;
Suryoutomo, Markus. “Efektivitas Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Sebagai Agunan Kredit Bank”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol.6.No.1 Oktober 2008. Semarang: Fakultas Hukum
UNTAG;
Syafrinaldi.
“Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual”. Jurnal Hukum Respublika. Vol. 4
No.1 Tahun 2004. Pekanbaru: FH Universitas
Lancang Kuning;
Tosato, Andrea. “Security Interest over
Intellectual Property”. Journal of
Intellectual Property Law &
Practice. Vol.6 No.2 Tahun 2011
Zaini, Ahmad. “Dinamika Perkembangan
Lembaga Jaminan Fidusia di Indonesia”.
Jurnal Al Qalam, Vol.24 No.3 September-Desember
2007. Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah;
Zuliyati, Ngurah Arya. “Intellectual
Capital dan Kinerja Keuangan Perusahaan”.
Jurnal Dinamika Keuangan dan
Perbankan. Vol.3 No.1 Nopember
2011. Semarang: Universitas Stikubank.